Menjelang 29 Juni 2011

     
  Senja baru saja pulang ke tanah jingga, matahari sore pun berpamitan dengan dunia, dan saat ini yang tersisa hanyalah bagian kelam yang disebut malam, Banyak hal yang menarik dari malam, dan ingin sekali menceritakannya, semoga pesan pilu ini mampu kau gambar dengan salam ceria mu, sehingga sisanya akan menjadi kebahagiaan untuk semua rasa cinta di tiap kisah cinta yang pernah ada.
          Awalnya, ada bagian tentang sibuknya elang-elang tua mencari dahan untuk berteduh, seusai terbang rendah di lautan lepas, demi cinta yang menantinya penuh harap memberi mereka secuil ikan segar, Apakah elang-elang ini hidup tanpa hati? Tentu saja jawabannya “iya” jika kita bertanya pada kumpulan ikan yang menjadi bagian dari kejamnya cakar penombak, Elang tak ingin hidup tanpa pengampunan, karena alam yang memaksanya untuk tampil dengan peran pembunuh, dan sialnya ikan adalah pesakitan dari kerasnya paruh mereka. Jika saja dulunya nama elang adalah ikan, elanglah yang menjadi korban dari nama yang dibawa takdir , namun sayangnya itu hanya nama, tak merubah semua cerita duka tentang siapa yang diajak tertawa dan siapa yang diajak berduka, ini semua lukisan takdir yang menggambarkan cerita kita, dan tolong ajak logika dan hati kita berbincang-bincang, mulailah dengan menyembunyikan telinga dari teriakan sorak ego yang bersemangat, dengar, mereka rukun dalam bambu-bambu penuh duri yang sejuk, begitu tenang dan damai, hati dalam balutan cinta yang penuh kesakitan tapi megah dengan tiang rindu dan warna-warna dari penantian. Hati ini, dulu kita menyebutnya dengan taman mawar yang indah, semoga kau masih mengingatnya, ya, semoga saja.
          Selanjutnya, tiba saat langit benar-benar berwarna hitam, kelamnya memaksa dunia mengajak bintang bahkan kadang juga ada sabit untuk menawarkan keindahan. Mulailah bintang pertama muncul di malam itu, seperti ragu ia muncul di dekat kabut tipis yang hampir saja menjadi perusuh, sepertinya ia tak sendirian, mungkin saja mereka tersesat, dan beruntungnya bagian bumi ini sudah malam, dan terangnya dapat terlihat dengan jelas, sungguh beruntung memilih malam menggantikan siang, karena hanya pada malam putihnya dapat berbinar, bintang yang pintar atau mungkin saja memang benar ia sedang tak sial, seakan ingin mengajakku bermain, mereka datang beramai-ramai, mulailah mereka menggoda ku. Aku dengan selimut hitam yang lusuh dan beralaskan tikar pandan yang tua.


SEP
(28/06/2011)

© 2011 Sejuta Kisah Untuk Satu Nama, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena