Kau
masih percaya dengan dongeng konstelasi bintang itu?
Sudah
berapa kali bumi ini berevolusi sejak terakhir kali aku melisankan ratusan kata
untukmu? dan kini semua isi yang pernah kau tulis untukku kembali menghantuiku barisan huruf dan rangkaian kata-kata itu menari di kegamangan redup malam
yang tidak menyisakan secercah cahayapun, kecuali saat aku memutuskan untuk
membiarkan ingatanku meleleh oleh seberkas sinar yang muncul remang-remang dari
satu bintang di ufuk sana.
Dan
kau tak usah bicara soal apa-apa yang hendak kau ucap itu karena diriku tak
pernah hendak berhenti untuk mendengarkan, sedangkan kau pun terus berjalan ke
arah yang tak pernah kutahu dan tak pernah kupahami. Dimana akhir dan dimana
permulaan aku tak pernah bisa menjawab pasti karena semua ini layaknya sebuah
siklus yang berputar dan mengorbit pada satu titik. Dimanakah titik itu berada?
“Di
garis tanganmu,” akhirnya kau bilang. Aku menggeleng dan menyahut dari
kejauhan, “di garis tangan mu
pekikku. Kau tetap menggeleng dan berjalan pergi, menjauh ke tempat yang tak
pernah bisa kutahu dan kupahami. Akhirnya kucampakkan ego terkutukku dan
kuberjalan menghampirimu.
Dan
kau?
Kau
berhenti. Waktupun berhenti.
“Garis
tanganmu dan garis tanganku, sama saja.” katamu lirih. “Kita ditorehkan dari
konstelasi yang sama.”
Aku
menghela napas. Kutatap bola matamu dan kutangkap bayang-bayang garis
horizon itu – tempat kakiku semestinya bermuara dari ketidak berujungan seorang
pengelana.