Di Garis Tangan Kita


Kau masih percaya dengan dongeng konstelasi bintang itu?
Sudah berapa kali bumi ini berevolusi sejak terakhir kali aku melisankan ratusan kata untukmu? dan kini semua isi yang pernah kau tulis untukku kembali menghantuiku  barisan huruf dan rangkaian kata-kata itu menari di kegamangan redup malam yang tidak menyisakan secercah cahayapun, kecuali saat aku memutuskan untuk membiarkan ingatanku meleleh oleh seberkas sinar yang muncul remang-remang dari satu bintang di ufuk sana.

Dan kau tak usah bicara soal apa-apa yang hendak kau ucap itu karena diriku tak pernah hendak berhenti untuk mendengarkan, sedangkan kau pun terus berjalan ke arah yang tak pernah kutahu dan tak pernah kupahami. Dimana akhir dan dimana permulaan aku tak pernah bisa menjawab pasti karena semua ini layaknya sebuah siklus yang berputar dan mengorbit pada satu titik. Dimanakah titik itu berada?
“Di garis tanganmu,” akhirnya kau bilang. Aku menggeleng dan menyahut dari kejauhan, “di garis tangan mu pekikku. Kau tetap menggeleng dan berjalan pergi, menjauh ke tempat yang tak pernah bisa kutahu dan kupahami. Akhirnya kucampakkan ego terkutukku  dan kuberjalan menghampirimu.

Dan kau?
Kau berhenti. Waktupun berhenti.
“Garis tanganmu dan garis tanganku, sama saja.” katamu lirih. “Kita ditorehkan dari konstelasi yang sama.”
Aku menghela napas. Kutatap bola matamu dan kutangkap bayang-bayang garis horizon itu  – tempat kakiku semestinya bermuara dari ketidak berujungan seorang pengelana.

© 2011 Sejuta Kisah Untuk Satu Nama, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena