Pena Baru Yang Santun


Saat ini, seharusnya menjadi malam yang tepat untuk mengukir namanya di langit hati, dia sembuhkan cinta yang lama dengan teguran tingkah yang santun, tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia sentuh hati ini dengan kedamaian, dia yang terlalu pendiam untuk malam-malam yang ku lalui, terkadang membuat ku membeku bersama rindu, tapi yang ku tahu hati ini membisikkan cinta yang dibawa darah menemui logika. 

Dia ganti sinar bintang yang redup untuk malam yang panjang, awal perkenalan yang penuh dengan senyumannya yang lembut mengantarkan aku pada kegilaan. Seketika badai datang, aku yang memintanya, menjadi keinginan ku yang jika saja dia tahu, semua akan mengutuk ku menjadi seorang yang bodoh, sangat luarbiasanya keterpaksaan ini menjemput kebahagiaan ku pergi dalam sekejap. 

Ada preventif asal-asalan dalam benakku saat ini, tapi yang ku tahu, dia pantas berbahagia selayaknya ketika ia berikan senyuman tulus itu. Namun satu hal yang ingin ku tegaskan, aku bukan bagian dari kegalauan seseorang yang tidak punya tujuan. 

Aku berpijak pada tanah yang bergelombang, sehingga ketika ku langkahkan kaki ini, semua terasa sedikit berguncang. Semua butuh kepastian, dan itu belum mampu aku berikan, maafkan aku yang terlalu terombang, karena aku belum menemukan pijakan yang tepat di tanah hijau datar yang lapang. 

Cukupkan saja apa yang kita sebut dengan berbagi, karena bagian itu tak pantas lagi untuk ku miliki, berikan kebahagiaan yang indah buatnya dan mereka, aku terus mencari pijakan itu disini, do’a ku dari pena baru yang santun, Semoga yang kau cintai tetaplah cinta yang bahagia sayang.
Read More

Sungguh, Ini Malam Yang Berat



Sebuah malam yang bercerita tentang kebutaan hati yang aktif
Disana, tepat dia berdiri dengan keanggunannya di musim semi
Bunga yang tumbuh mekar, begitu menggoda pelamun senja
Entah bagaimana merah itu mengisi ruang taman ini
Layaknya Ratu, ia hiasi tiap sudut istana ini dengan cinta

Sepertinya kamar ini terlalu sunyi
Hanya sesekali irama sendu melantun lirih
Namun tak juga pekikkan sedikit keramaian
Tiba saat kau berkata pelan, "Jangan terlalu larut dalam kesunyian"
Benar-benar menyentak
Entahlah, harusnya kau benar
Jika saja kesunyiaan ini kau bawa
Kembalikan tawa ceria yang kau punya disini
Karena kesunyian, teman berbaring yang ku punya
Setianya, menjadikanmu alasan bait-bait ini mengalir

Engkau bunga cantik yang menjadi ratu di taman hati
Engkau yang mengisi kesunyian ini
Engkau adalah kebutaan hati yang indah
Sungguh, Ini Malam yang berat................

Read More

Ingin Ku Bunuh Bayang Bayang Yang Membayang


Tapi Siapa Yang Benar benat dapat merobek nya
Menjauh pun tidak karna bayang selalu akrab dengan kenangan
Bagaimana mungkin aku melipat bayang dan menyimpan nya dipeti besi
padahal untuk mengganti warnanya saja aku tak mampu
Ingin ku bunuh bayang disepanjang jalan
Tapi matahari sangat Tergesa
Waktu yang pendek dijalan yang panjang
Bahkan bayang melilit pohon yang tumbuh dipinggir jalan menyatu dari tubuh hingga sepatu
Hingga Menyisakan isak tertahan jauh didalam
Di baris baris nyanyian pilu teramat nyeri

Bayang bayang Yang membayang
Semakin Memanjang
Hari semakin petang semakin lengang
Read More

Bahkan Hingga Kini



Telah ku daki gunung gunung  merambah hutan rimba luka
Berdarah atau yang bersalju dingin membeku dan
bukit padang ilalang atau yang penuh bebatuan gersang
kerontang dibakar Matahari untuk menggapai puncak yang tak kekal
selalu saja aku harus turun setelah nyanyian usai
setelah semua kata tumpah
setelah semua rasa terurai meninggal kan asap melumuri kenangan yang berdebu
Telah Ku selami lautan menyibak ombak gelombang terapung  linglung
juga telah ku sebrangi sungai bertarung dalam keras nya arus merebahkan angan ku di dasar nya
Namun selalu saja kutemui lagi daratan yang membunuh kesadaran menyisakan sesak nafas dan pengap nya udara
Mungkin Aku harus berdiam saja di rongga dadamu
Berbatas rusuk yang kau curi dari tulang ku
agar aku tak lelah mencari lagi
Read More

Menjadi Bijak




Sebatang Lilin
Menyala di Kegelapan Malam
Menerangi sekitar
Lelah raut wajah nya
Berkorban Menerangi Gulita

Batu Besar Ditengah Padang
Diterpa Sinar Mentari
Diguyur Hujan
Dihantam Badai
Diamuk Kilat dan petir
Namu Ia tetap tabah dan bertahan

Pohon Yang tumbuh Ditepi jalan
memperkuat Tebing
Tempat orang berteduh dan berkeluh
Tempat Burung bersinggah Dari kembara yang panjang
Karena Lelah Menyusuri Cakrawala
Menggapai Langit

Ibarat Sebatang Lilin
rela berkorban Untuk Sesama
Ibarat sebuah batu Besar penuh kesabaran
Ibarat Pohon yang Lebat Buah nya
Dilempar Orang dengan Batu Dibalas nya dengan Buah
J

Read More

Makhluk Itu Yang Aku Sebut Sebagai Kenangan


Sejauh mana aku melemparkan makhluk itu??
Cukup jauhkah rasanya...
Dan mungkin telah terjatuh berderai berdebu..
Dan lebih baik lagi melepuh terbakar dalam Sahara..
Atau meradang dingin, dan mati sepi di tanah putih di bumi selatan...

Itu harap ku,,
Makhluk yang aku sebut kenangan itu sebaiknya pergi menyepi..
Ini adalah catatan tanpa nama tentang mu..

Namun,, usaha itu berdarah merah muda..
Terlalu lembut..
Dan pada akhirnya..
Makhluk itu senantiasa bergelantung dalam pigura di tembok hitam membeku..
Membantai... seraya menyeringai dengan santai..

Fakta bias makna ku.. yang rapuh dan gontai..
Tidak mampu melemparnya jauh..
Tidak juga jatuh ia berderai berdebu...
Tidak di sahara,, Apalagi di tanah bumi selatan..
Dan Ia tiada pernah pergi jauh menyepi..
Bahkan satu detakan nadi..

Ini kebodohan.. atau lugunya hati...
Makhluk itu.. yang aku sebut sebagai kenangan ..
Masih berirama dan menari dengan angkuhnya...
Read More

Yang Menjelaga Jingga


Perasaan datang dan pergi..
entah kapan?
entah dimana?
dan entah kepada siapa?
tapi kali ini pada mu...
selanjutnya mungkin padaku..
atau mungkin perasaan antara aku dan kau yang akan berkolaborasi dalam resonansi..


Perasaan yang datang.. selayaknya pujaan..
Perasaan yang pergi.. tak jarang adalah cacian...


Perasaan yang datang...
Mohon hadir dalam kewarasan dan santun..
Karna tabi'at mu mematahkan sendi-sendi logika yang seharusnya ada..
Jika tidak...Enyahlah dengan sebaik-baiknya engkau..

Perasaan yang pergi..
Mohon pergi dengan kewajaran...
Sayatan mu memecah kebahagiaan...
Penuh caci maki, kerinduan pilu, dan benci...
Jika tidak.. Mohon tetaplah dengan bias pelangi yang engkau lukiskan..


Sungguh..mungkin takkan mampu ku menulismu sebagai catatan terkutuk yang menjelaga jingga...





Read More

Di Garis Tangan Kita


Kau masih percaya dengan dongeng konstelasi bintang itu?
Sudah berapa kali bumi ini berevolusi sejak terakhir kali aku melisankan ratusan kata untukmu? dan kini semua isi yang pernah kau tulis untukku kembali menghantuiku  barisan huruf dan rangkaian kata-kata itu menari di kegamangan redup malam yang tidak menyisakan secercah cahayapun, kecuali saat aku memutuskan untuk membiarkan ingatanku meleleh oleh seberkas sinar yang muncul remang-remang dari satu bintang di ufuk sana.

Dan kau tak usah bicara soal apa-apa yang hendak kau ucap itu karena diriku tak pernah hendak berhenti untuk mendengarkan, sedangkan kau pun terus berjalan ke arah yang tak pernah kutahu dan tak pernah kupahami. Dimana akhir dan dimana permulaan aku tak pernah bisa menjawab pasti karena semua ini layaknya sebuah siklus yang berputar dan mengorbit pada satu titik. Dimanakah titik itu berada?
“Di garis tanganmu,” akhirnya kau bilang. Aku menggeleng dan menyahut dari kejauhan, “di garis tangan mu pekikku. Kau tetap menggeleng dan berjalan pergi, menjauh ke tempat yang tak pernah bisa kutahu dan kupahami. Akhirnya kucampakkan ego terkutukku  dan kuberjalan menghampirimu.

Dan kau?
Kau berhenti. Waktupun berhenti.
“Garis tanganmu dan garis tanganku, sama saja.” katamu lirih. “Kita ditorehkan dari konstelasi yang sama.”
Aku menghela napas. Kutatap bola matamu dan kutangkap bayang-bayang garis horizon itu  – tempat kakiku semestinya bermuara dari ketidak berujungan seorang pengelana.

Read More

Sadarlah, Ada Tuhan Di sini



Telah lama puing itu tergeletak di tanah hitam
Dibasuh hujan yang jadikkan nya kuyup setelah berselimut debu jalanan
Remuk dan tua dikelilingi sampah yang tak jua membusuk
Sesekali didatangi pejalan kaki yang bergegas
Kadang malah ditempati kotoran hewan liar yang busuk
Semakin rapuh berserakan abstrak tak berharga

Seperti inilah hati bercerita tentang pilunya
Mengais asa yang tersisa di remang-remang hidupnya
Tak mampu terangkan kelam yang tak dapat mencari sinar
Berlayar malam tanpa ada lilin penerang
Berada di tengah samudera pembunuh penuh pemangsa buas yang lapar


Semua memang belum berakhir
Karena garis tangan masih terus akan berbelok di titik pemberhentiannya
Basuh wajahmu, karena mimpi buruk harusnya tak perlu dinikmati

Sadarlah, bahwa ada Tuhan disini
Minta kepada-Nya lilin penerang yang membawa mu ke tempat yang putih
Cukupkan kegalauan, karena bumi masih menginginkanmu untuk memijaknya

Semua berhak untuk tersenyum
Semua berhak untuk dapatkan senyuman
semua berhak bahagia dengan penuh usahanya
Bangkitlah setelah menjadi puing yang tak berharga
Terangilah kebahagiaan itu dengan penuh tepukan dada
Tertawalah dengan lepas
Setelah keras usaha dan do'a penuh air mata
Bahagiakan mereka................





Read More

© 2011 Sejuta Kisah Untuk Satu Nama, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena